Sunday, 8 June 2014

Keanekaragaman Hayati Fauna di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Provinsi Aceh


Fauna
 
Ditinjau dari segi geografi satwa, Pulau Sumatera digolongkan ke dalam Sub Regional Malaysia. Sedangkan di Pulau Sumatera dapat ditetapkan dua garis batas fauna, yaitu Pegunungan Bukit Barisan (bagian Barat dan Timur) dan Padang Sidempuan (bagian Utara dan Selatan).

Garis batas fauna lainnya terdapat di Sungai Wampu yang tembus dari Pegunungan Tanah Karo memotong wilayah Langkat Selatan. Jenis Kedih yang terdapat di sebelah timur Sungai Wampu ternyata berbeda dengan yang terdapat di sebelah barat. Kekayaan fauna di TNGL sebenarnya banyak terdapat di kawasan yang terletak di ketinggian 0 – 1000 mdpl. Di daerah yang lebih tinggi, komposisi fauna mengalami perubahan dan keberadaannya mulai terbatas.

TNGL merupakan habitat dari mamalia, burung, reptil, ampibi, ikan, dan invertebrata. Kawasan ini juga merupakan habitat burung dengan daftar spesies 380 dan 350 di antaranya merupakan spesies yang hidup menetap. Diprediksi bahwa 36 dari 50 jenis burung endemik di Sundaland, dapat ditemukan di kawasan TNGL. Dari 129 spesies mamalia besar dan kecil di seluruh Sumatera, 65% di antaranya berada di kawasan taman nasional ini. TNGL dan kawasan di sekitarnya yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan habitat dari gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), Owa (Hylobates lar), Kedih (Presbytis thomasi). Saat ini Balai Besar TNGL lebih memfokuskan pengelolaannya pada 4 spesies satwa flagship, yaitu:

Orangutan

Sebaran orangutan di Sumatera bagian utara, menurut YLI dan SOCP (2005) terdapat di 7 wilayah, yaitu West-Leuser & West-Middle Aceh Block dengan populasi 2.611, Trumon-Singkil (1.500), East Leuser & East-Middle Aceh Block (1.389), Nort-West Aceh & North-East Aceh (834), West Batang Toru (400), Tripa Swamp (280), East Sarulla (150), dan Sidiangkat (134). Peta sebaran populasi orangutan disajikan pada Gambar berikut ini.

Peta Penyebaran Populasi Orangutan Sumatera di TNGL
Peta Penyebaran Populasi Orangutan Sumatera di TNGL
Badak Sumatera

Badak Sumatera beradaptasi dengan baik untuk hidupnya di kawasan hutan pegunungan yang padat. Catatan sejarah menyatakan bahwa keberadaan Badak Sumatera ini terdapat di hampir seluruh wilayah-wilayah terpencil di Sumatera dan TNGL merupakan tempat dengan dokumentasi yang baik (Van Strien in Jatna dkk., 1996). Dijelaskan bahwa di masa lalu, Badak Sumatera dapat dijumpai di hampir seluruh penjuru taman nasional, di lembah-lembah maupun di pegunungan, sepanjang pantai barat, dan daratan rendah di Langkat dan Deli.

Ketika survey pertama kali dilakukan di Leuser pada tahun 1930-an, badak sudah menjadi langka di wilayah utara di dekat Blangkejeren, yang dikenal sebagai pusat pemburu badak. Kecenderungan akan penurunan populasi badak ini terus berlanjut, dan ketika proyek penelitian badak dari seorang ahli zoology Swiss-Marcus Borner lalu dilanjutkan oleh Nico van Strein pada awal 1970-an, badak telah menghilang dari seluruh batas taman nasional. Hanya terdapat satu wilayah di pusat taman nasional yang dapat dicapai melalui udara atau mengikuti jalur jelajah gajah memotong kawasan bergunung-gunung di Lembah Mamas. Nico van Strein melakukan penelitian badak di wilayah ini pada tahun 1975.

Dalam jangka waktu studi 358 hari di Lembah Mamas, 4.000 km jalan patroli telah dilalui dan lebih dari 600 casts telah dibuat pada 360 jalur jelajah badak. Disimpulkan telah ditemukan tidak kurang dari 39 individu badak, 12 individu diantaranya adalah anak badak yang lahir pada masa studi. Di lembah Mamas juga diprediksi bahwa kepadatan individu diperkirakan 1 badak/800 hektar, dan ini adalah jumlah maksimum yang dapat didukung oleh kondisi di kawasan Leuser, dan sangat mungkin merupakan ukuran untuk badak pegunungan di seluruh Sumatera. Sedangkan daerah jelajah badak jantan dapat mencapai areal hutan seluas 2.500-3.000 hektar, sedangkan badak betina pada luasan 1.000-1.500 hektar, yang umumnya berpusat pada tempat mengasin (saltlick area). Selanjutnya wilayah sebaran Badak Sumatera disajikan pada Gambar dibawah ini.

Harimau Sumatera

Harimau dijumpai pada kawasan pantai sampai dengan ketinggian 2.000 mdpl, baik di hutan sekunder maupun primer. Mereka lebih suka di perbatasan hutan di mana banyak dijumpai hewan pakannya seperti babi hutan. Harimau adalah spesies paling terancam oleh perburuan illegal dengan menggunakan racun. Perburuan yang berulang-ulang akan menurunkan populasinya bahkan populasi yang jauh di dalam taman nasional.

Menurut Griffiths (1999), populasi harimau di TNGL pada tahun 1992 diperkirakan mencapai 100 individu. Jumlah ini diduga merupakan separuh dari jumlah populasi 6 tahun sebelumnya. Predator seperti harimau ini merupakan komponen dari ekosistem hutan hujan dataran rendah di TNGL. Peranannya sebagai predator terhadap hama babi hutan, membantu para petani yang tinggal di sekitar taman nasional, dari kegagalan panennya akibat serangan babi hutan. Harimau juga akan membantu menjaga keseimbangan populasi babi hutan pada tingkat yang stabil. Kerugian akibat serangan hama babi hutan ini besarnya equivalent dengan 30 kambing per tahun, seperti yang pernah terjadi di Desa Jambo Dalim, sebelah selatan kawasan TNGL.

Gajah Sumatera

Tipe gajah di kawasan TNGL merupakan sub-species dari gajah Asia, yaitu Elephas maximus sumatranus. Semula jalur jelajahnya meliputi hampir seluruh Sumatera, namun beberapa puluh tahun terakhir jalur jelajahnya menyempit di wilayah hutan yang terputus-putus yang bisa mendukung populasi yang tersebar. Di TNGL, tak ada satu jalur jelajah pun yang cukup terlindungi.

Gajah sumatera ini menyukai habitat di hutan hujan dataran rendah dengan drainase tanah yang baik tetapi dengan dukungan suplai air yang mencukupi. Kawasan di bawah ketinggian 1.000 mdpl inipun juga harus memiliki cadangan makanan yang disukai gajah, yaitu bambu, rumput liar, liana, kulit pohon tertentu, dan beberapa jenis buah tertentu, seperti durian, mangga, dan cempedak. Suplai yang menurun dari berbagai jenis makanan tersebut akan berdampak pada pola breeding, kerentanan pada penyakit dan kematian. Oleh karena itu berkurangnya luas hutan hujan dataran rendah akan langsung mengancam keberadaan Gajah Sumatera ini.

Populasi Gajah di TNGL diprediksi sebanyak 160-200 individu, dan populasi ini terpisah dalam beberapa kelompok, dengan harapan terjadinya interbreeding yang kecil, masa depan populasinya tidak begitu menggembirakan. Menurut Griffiths (1999), dengan memberikan cukup perlindungan dan koridor yang tepat akan membantu menjaga masa depan gajah Sumatera ini lebih baik, antara lain dengan melakukan perlindungan daerah jelajahnya di dalam taman nasional. Khususnya daerah-daerah hutan hujan dataran rendah yang merupakan daerah jelajah kelompok-kelompok gajah tersebut. Daerah jelajah awal dari populasi gajah di TNGL meliputi kawasan Sekundur di Langkat, menuju jalur jelajahnya sampai di Kappi dan memotong enclave Gumpang dan Marpunge menuju lembah Alas, Muara Situlen, dan berakhir di sekitar Lawe Bengkung sampai sebelah barat Kluet.

No comments:

Post a Comment