Fauna
Ditinjau dari segi geografi satwa, Pulau
Sumatera digolongkan ke dalam Sub Regional Malaysia. Sedangkan di Pulau
Sumatera dapat ditetapkan dua garis batas fauna, yaitu Pegunungan Bukit
Barisan (bagian Barat dan Timur) dan Padang Sidempuan (bagian Utara dan
Selatan).
Garis batas fauna lainnya terdapat di Sungai Wampu yang tembus dari Pegunungan Tanah Karo memotong wilayah Langkat Selatan. Jenis Kedih yang terdapat di sebelah timur Sungai Wampu ternyata berbeda dengan yang terdapat di sebelah barat. Kekayaan fauna di TNGL sebenarnya banyak terdapat di kawasan yang terletak di ketinggian 0 – 1000 mdpl. Di daerah yang lebih tinggi, komposisi fauna mengalami perubahan dan keberadaannya mulai terbatas.
Garis batas fauna lainnya terdapat di Sungai Wampu yang tembus dari Pegunungan Tanah Karo memotong wilayah Langkat Selatan. Jenis Kedih yang terdapat di sebelah timur Sungai Wampu ternyata berbeda dengan yang terdapat di sebelah barat. Kekayaan fauna di TNGL sebenarnya banyak terdapat di kawasan yang terletak di ketinggian 0 – 1000 mdpl. Di daerah yang lebih tinggi, komposisi fauna mengalami perubahan dan keberadaannya mulai terbatas.
TNGL merupakan habitat dari mamalia,
burung, reptil, ampibi, ikan, dan invertebrata. Kawasan ini juga
merupakan habitat burung dengan daftar spesies 380 dan 350 di antaranya
merupakan spesies yang hidup menetap. Diprediksi bahwa 36 dari 50 jenis
burung endemik di Sundaland, dapat ditemukan di kawasan TNGL. Dari 129
spesies mamalia besar dan kecil di seluruh Sumatera, 65% di antaranya
berada di kawasan taman nasional ini. TNGL dan kawasan di sekitarnya
yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan habitat
dari gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis),
Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Siamang (Hylobates syndactylus
syndactylus), Owa (Hylobates lar), Kedih (Presbytis thomasi). Saat ini
Balai Besar TNGL lebih memfokuskan pengelolaannya pada 4 spesies satwa
flagship, yaitu:
Orangutan
Sebaran orangutan di Sumatera bagian
utara, menurut YLI dan SOCP (2005) terdapat di 7 wilayah, yaitu
West-Leuser & West-Middle Aceh Block dengan populasi 2.611,
Trumon-Singkil (1.500), East Leuser & East-Middle Aceh Block
(1.389), Nort-West Aceh & North-East Aceh (834), West Batang Toru
(400), Tripa Swamp (280), East Sarulla (150), dan Sidiangkat (134). Peta
sebaran populasi orangutan disajikan pada Gambar berikut ini.
Badak Sumatera
Badak Sumatera beradaptasi dengan baik
untuk hidupnya di kawasan hutan pegunungan yang padat. Catatan sejarah
menyatakan bahwa keberadaan Badak Sumatera ini terdapat di hampir
seluruh wilayah-wilayah terpencil di Sumatera dan TNGL merupakan tempat
dengan dokumentasi yang baik (Van Strien in Jatna dkk., 1996).
Dijelaskan bahwa di masa lalu, Badak Sumatera dapat dijumpai di hampir
seluruh penjuru taman nasional, di lembah-lembah maupun di pegunungan,
sepanjang pantai barat, dan daratan rendah di Langkat dan Deli.
Ketika survey pertama kali dilakukan di
Leuser pada tahun 1930-an, badak sudah menjadi langka di wilayah utara
di dekat Blangkejeren, yang dikenal sebagai pusat pemburu badak.
Kecenderungan akan penurunan populasi badak ini terus berlanjut, dan
ketika proyek penelitian badak dari seorang ahli zoology Swiss-Marcus
Borner lalu dilanjutkan oleh Nico van Strein pada awal 1970-an, badak
telah menghilang dari seluruh batas taman nasional. Hanya terdapat satu
wilayah di pusat taman nasional yang dapat dicapai melalui udara atau
mengikuti jalur jelajah gajah memotong kawasan bergunung-gunung di
Lembah Mamas. Nico van Strein melakukan penelitian badak di wilayah ini
pada tahun 1975.
Dalam jangka waktu studi 358 hari di
Lembah Mamas, 4.000 km jalan patroli telah dilalui dan lebih dari 600
casts telah dibuat pada 360 jalur jelajah badak. Disimpulkan telah
ditemukan tidak kurang dari 39 individu badak, 12 individu diantaranya
adalah anak badak yang lahir pada masa studi. Di lembah Mamas juga
diprediksi bahwa kepadatan individu diperkirakan 1 badak/800 hektar, dan
ini adalah jumlah maksimum yang dapat didukung oleh kondisi di kawasan
Leuser, dan sangat mungkin merupakan ukuran untuk badak pegunungan di
seluruh Sumatera. Sedangkan daerah jelajah badak jantan dapat mencapai
areal hutan seluas 2.500-3.000 hektar, sedangkan badak betina pada
luasan 1.000-1.500 hektar, yang umumnya berpusat pada tempat mengasin
(saltlick area). Selanjutnya wilayah sebaran Badak Sumatera disajikan
pada Gambar dibawah ini.
Harimau Sumatera
Harimau dijumpai pada kawasan pantai
sampai dengan ketinggian 2.000 mdpl, baik di hutan sekunder maupun
primer. Mereka lebih suka di perbatasan hutan di mana banyak dijumpai
hewan pakannya seperti babi hutan. Harimau adalah spesies paling
terancam oleh perburuan illegal dengan menggunakan racun. Perburuan yang
berulang-ulang akan menurunkan populasinya bahkan populasi yang jauh di
dalam taman nasional.
Menurut Griffiths (1999), populasi
harimau di TNGL pada tahun 1992 diperkirakan mencapai 100 individu.
Jumlah ini diduga merupakan separuh dari jumlah populasi 6 tahun
sebelumnya. Predator seperti harimau ini merupakan komponen dari
ekosistem hutan hujan dataran rendah di TNGL. Peranannya sebagai
predator terhadap hama babi hutan, membantu para petani yang tinggal di
sekitar taman nasional, dari kegagalan panennya akibat serangan babi
hutan. Harimau juga akan membantu menjaga keseimbangan populasi babi
hutan pada tingkat yang stabil. Kerugian akibat serangan hama babi hutan
ini besarnya equivalent dengan 30 kambing per tahun, seperti yang
pernah terjadi di Desa Jambo Dalim, sebelah selatan kawasan TNGL.
Gajah Sumatera
Tipe gajah di kawasan TNGL merupakan
sub-species dari gajah Asia, yaitu Elephas maximus sumatranus. Semula
jalur jelajahnya meliputi hampir seluruh Sumatera, namun beberapa puluh
tahun terakhir jalur jelajahnya menyempit di wilayah hutan yang
terputus-putus yang bisa mendukung populasi yang tersebar. Di TNGL, tak
ada satu jalur jelajah pun yang cukup terlindungi.
Gajah sumatera ini menyukai habitat di
hutan hujan dataran rendah dengan drainase tanah yang baik tetapi dengan
dukungan suplai air yang mencukupi. Kawasan di bawah ketinggian 1.000
mdpl inipun juga harus memiliki cadangan makanan yang disukai gajah,
yaitu bambu, rumput liar, liana, kulit pohon tertentu, dan beberapa
jenis buah tertentu, seperti durian, mangga, dan cempedak. Suplai yang
menurun dari berbagai jenis makanan tersebut akan berdampak pada pola
breeding, kerentanan pada penyakit dan kematian. Oleh karena itu
berkurangnya luas hutan hujan dataran rendah akan langsung mengancam
keberadaan Gajah Sumatera ini.
Populasi Gajah di TNGL diprediksi
sebanyak 160-200 individu, dan populasi ini terpisah dalam beberapa
kelompok, dengan harapan terjadinya interbreeding yang kecil, masa depan
populasinya tidak begitu menggembirakan. Menurut Griffiths (1999),
dengan memberikan cukup perlindungan dan koridor yang tepat akan
membantu menjaga masa depan gajah Sumatera ini lebih baik, antara lain
dengan melakukan perlindungan daerah jelajahnya di dalam taman nasional.
Khususnya daerah-daerah hutan hujan dataran rendah yang merupakan
daerah jelajah kelompok-kelompok gajah tersebut. Daerah jelajah awal
dari populasi gajah di TNGL meliputi kawasan Sekundur di Langkat, menuju
jalur jelajahnya sampai di Kappi dan memotong enclave Gumpang dan
Marpunge menuju lembah Alas, Muara Situlen, dan berakhir di sekitar Lawe
Bengkung sampai sebelah barat Kluet.
Sumber : http://gunungleuser.or.id/
No comments:
Post a Comment